Udang Indonesia di Tengah Perang Dagang: Menakar Dampak Kebijakan Trump
- Redaktur: Audri Rianto
- 1 hari yang lalu
- 2 menit membaca
Perang dagang global kembali memanas di tahun 2025 ini yang dipicu oleh kebijakan ekonomi proteksionis yang dicanangkan Presiden AS, Donald Trump di periode kepemimpinannya yang baru.

Sumber: kompas.com
Salah satu sektor yang turut terkena dampak adalah industri perikanan, khususnya ekspor udang dari Indonesia. Dengan lebih dari 70% ekspor udang Indonesia ditujukan ke pasar AS, kebijakan tarif baru ini menjadi tantangan besar bagi industri perikanan nasional.
Kebijakan Baru Trump dan Efeknya
Pada April 2025, pemerintahan Trump memberikan tarif impor baru sebesar 32% terhadap berbagai komoditas ekspor Indonesia, termasuk udang, tekstil, dan minyak sawit. Namun, tarif tersebut belum disahkan, sebab Amerika sendiri masih memberikan waktu bagi negara terdampak selama 90 hari ke depan untuk melakukan negosiasi.
Rencana penerapan tarif resiprokal ini merupakan bagian dari strategi proteksionisme yang lebih luas, di mana AS juga mengenakan tarif tinggi terhadap negara-negara lain, seperti China (145%), Vietnam (46%), dan Thailand (36%).
Sebelumnya, ekspor udang Indonesia ke AS sendiri sempat terjegal oleh adanya tarif anti-dumping yang cukup memberatkan. Untungnya, Indonesia masih bisa menjaga tren ekspor udangnya, terbukti pada Januari 2025, nilai ekspor udang beku Indonesia ke AS mencapai 94,2 juta dolar AS dengan volume 11,1 ribu ton, naik 24% dibanding tahun sebelumnya.
Penurunan tarif anti-dumping dari 6,3% menjadi 3,9% oleh Departemen Perdagangan AS turut berkontribusi pada peningkatan daya saing produk Indonesia. Tapi, dengan adanya isu penambahan tarif resiprokal yang baru ini, sepertinya ekspor udang akan mengalami kesulitan untuk bersaing di pasar AS.
Jika benar tarif 32% disahkan untuk Indonesia, sudah bisa dipastikan akan membuat harga udang Indonesia sulit bersaing, karena semakin mahal.
Produsen Lokal Terjepit
Pelaku industri udang di Indonesia menghadapi tekanan dari dua sisi, yaitu naiknya tarif impor di negara tujuan dan biaya produksi domestik yang belum efisien. Harga pakan, listrik, dan logistik masih menjadi beban besar. Sementara itu, pesaing seperti Vietnam dan India sudah melakukan efisiensi lewat integrasi hulu-hilir dan insentif pemerintah.
Di sisi lain, ketergantungan Indonesia pada pasar AS juga mempersempit pergerakan eksportir Indonesia. Ketika AS seakan mempersempit pintu, Indonesia seolah kelabakan, karena belum banyak alternatif pasar yang bisa langsung menampung volume besar seperti Amerika.
Peluang Diversifikasi Pasar
Situasi seperti ini memang seolah sangat menekan, namun ini juga bisa menjadi momentum bagi Indonesia untuk mempercepat diversifikasi pasar. Negara-negara di Timur Tengah, Eropa Timur, hingga kawasan Asia Timur bisa menjadi target ekspor baru. Jepang dan Korea Selatan, misalnya, yang menunjukkan tren peningkatan konsumsi seafood yang stabil.
Namun, untuk dapat menembus pasar sana, Indonesia harus memenuhi standar mutu yang lebih ketat dan membangun jejaring distribusi yang baru.
Pemerintah wajib berperan lebih aktif dalam melakukan diplomasi dagang dan insentif ekspor ke pasar non-tradisional. Pendekatan ini tidak hanya mengurangi ketergantungan pada pasar AS, tapi juga mendorong daya saing jangka panjang industri udang nasional.
Baca Juga
Comments