Tarif Trump: Penghambat atau Pemicu Inovasi di Industri Udang Indonesia?
- Redaktur: Audri Rianto
- 1 hari yang lalu
- 2 menit membaca
Industri udang Indonesia adalah salah satu sektor perikanan yang selalu menyumbang devisa secara signifikan setiap tahunnya. Namun, belakangan ini industri ini menghadapi tantangan baru, yaitu penerapan tarif resiprokal atau yang saat ini sering disebut sebagai 'Tarif Trump'.

Sumber: jakpost.net
Padahal, sebelumnya ekspor udang Indonesia telah dikenai tarif anti-dumping oleh Amerika Serikat yang cukup memberatkan dan membuat laju industri tersebut melambat. Lalu, apakah penerapan tarif resiprokal ini akan menjadi hambatan bagi perkembangan industri atau justru mendorong lahirnya inovasi baru?
Apa Itu Tarif Resiprokal?
Tarif resiprokal adalah tarif timbal balik atau bisa dikatakan sebagai kebijakan pembalasan dagang dan Amerika Serikat adalah negara yang paling gencar menerapkannya saat ini. Ada beberapa negara yang dikenakan tarif ini dan Indonesia adalah salah satunya, dengan tarif yang diberlakukan sebesar 32%.
Untuk dapat dimengerti, gambaran dari tarif resiprokal ialah ketika suatu negara memberlakukan bea masuk terhadap produk dari negara lain, maka negara tersebut bisa membalas dengan tarif yang sama terhadap produk negara tersebut. Tujuannya adalah menciptakan kesetaraan dalam perdagangan, tapi efeknya bisa saja merugikan pelaku usaha.
Dampak Langsung ke Industri
Penerapan tarif yang terlalu tinggi jelas membebani eksportir. Biaya tambahan membuat margin keuntungan menyusut, bahkan bisa berubah bisa saja merugi. Beberapa eksportir skala kecil terpaksa mengurangi produksi atau mencari pasar baru yang belum tentu setara potensinya.
Apalagi industri ekspor udang Indonesia sebelumnya sudah dikenai tarif anti-dumping, maka dengan adanya tarif resiprokal yang baru ini, tentu beban eksportir menjadi semakin bertambah. Pajak impor yang dibayarkan semakin membengkak.
Namun di sisi lain, tekanan ini memaksa pelaku industri untuk cepat berbenah dan menciptakan inovasi baru. Produsen mulai mencari cara untuk meningkatkan efisiensi produksi, menekan biaya, dan menyesuaikan kualitas agar lebih sesuai standar internasional.
Bisa Dikatakan Sebagai Pemicu Inovasi
Produsen seakan dipaksa untuk menyesuaikan diri jika tidak ingin mati kutu di industri yang selama ini mereka jalani. Tarif resiprokal sendiri bisa menjadi pemicu inovasi dalam beberapa hal:
Diversifikasi Pasar
Amerika Serikat merupakan pasar yang besar bagi produk udang Indonesia, namun dengan ketidakpastian akibat dari tarif resiprokal ini, maka eksportir harus menyiapkan pasar alternatif. Mengurangi ketergantungan pada AS bertujuan untuk menjaga hilirisasi produk perikanan, khususnya produksi udang tetap berjalan dengan baik.
Teknologi dan Efisiensi
Budidaya udang dituntut untuk lebih efisien dengan mulai mengadopsi teknologi seperti sistem bioflok, otomatisasi pakan, dan monitoring berbasis IoT untuk menekan biaya operasional.
Peningkatan Kualitas
Untuk tetap kompetitif, udang Indonesia harus memenuhi standar yang lebih tinggi, mulai dari traceability, bebas antibiotik, hingga sertifikasi ramah lingkungan. Beberapa kriteria tersebut akan mendorong perubahan positif dalam proses produksi.
Value Added Product
Untuk saat ini, para pelaku usaha sudah bisa mulai mengembangkan produk turunan seperti udang olahan beku, tempura, atau udang siap saji, jadi tidak lagi hanya terbatas pada ekspor udang mentah semata. Hal ini tentu akan menambah nilai jual dan membuka pasar baru.
Tantangan Tetap Ada
Meski ada sisi positifnya, namun tidak semua pelaku usaha mampu beradaptasi cepat. Usaha kecil menengah (UKM) yang kekurangan modal dan akses teknologi tentu yang paling merasakan dampaknya. Pemerintah perlu turun tangan, bukan hanya lewat diplomasi dagang, tapi juga dukungan konkret seperti insentif pajak, pelatihan teknologi, dan pembukaan akses pasar.
Baca Juga