Kantor Perwakilan Dagang Amerika Serikat (USTR) mengumumkan penangguhan kebijakan perdagangan preferensi untuk Thailand di bawah Sistem Preferensi Umum (GSP) pada Oktober silam.
Penangguhan ini sangat berpengaruh terhadap lebih dari 500 produk, termasuk dalam industri makanan laut asal Thailand dan akan mulai diberlakukan pada 25 April tahun depan.
Sumber: detik.com
Alasan AS menerapkan langkah ini adalah karena Thailand dianggap gagal dalam melindungi hak-hak pekerja secara memadai. Sejumlah kalangan merasa agak meragukan motif sebenarnya dari tindakan tersebut, namun laporan dari beberapa bulan mengenai kondisi kerja yang buruk di Thailand telah menunjukkan bahwa langkah tersebut tidak sepenuhnya tanpa dasar.
Nasib Para Pekerja Perikanan
Terpikat janji upah yang lebih baik oleh pialang, setidaknya ada 18 anggota awak kapal akan berangkat dari Thailand ke Iran awal tahun ini. Segalanya berjalan lancar hingga ketika mereka memasuki perairan Somalia, ketika bendera kapal ditukar menjadi bendera negara Afrika Timur itu.
Para nelayan tiba-tiba merasa terjebak dan tidak diizinkan meninggalkan kapal dan upah mereka ditahan. Nasib semakin buruk ketika kapal mulai kehabisan bahan bakar dan persediaan makanannya.
Laporan mengenai mereka terdampar di kapal pukat ikan dalam kondisi mengalami eksploitasi dan diperlakukan layaknya budak di lautan lepas Somalia muncul pada Agustus lalu. Laporan ini akhirnya mengungkapkan praktik curang di sektor perikanan.
“Thailand memang sudah mengubah dan menegakkan peraturannya, tapi ini adalah kejahatan lintas batas. Kapal penangkap ikan tak menggunakan bendera Thailand jika sedang ada pengawasan,” ujar aktivis HAM Thailand, Tungpuchayakul.
Dia menegaskan bahwa kerja paksa dan tindakan eksploitasi tidak dapat terdeteksi saat kapal Thailand beroperasi di perairan Thailand, namun tidak dengan kapal yang mengibarkan bendera asing.
Baca Juga: