top of page
Redaktur: Maulina Siregar

Polikultur Udang Vaname dan Nila Minimalkan Resiko White Spot


Wabah penyakit white spot (bintik putih) adalah hal yang menjadi momok bagi para petambak dan pembudidaya udang. Selain sifatnya yang cepat menyebar dan berdampak mematikan, white spot menyebabkan kerugian finansial yang besar di kalangan petambak udang. Ketika white spot menyerang udang yang diternakkan, pilihan satu-satunya adalah memanen udang pada saat itu juga. Sebab bila tidak dilakukan, semua udang bisa mati hanya dalam hitungan hari.

Seperti yang dialami para petambak udang Vaname di Tuban yang kini terancam kerugian karena dilanda white spot. Seorang petani udang Vaname di Desa Socorejo, Jenu Tuban, Samsudi menceritakan bahwa ia harus mengambil keputusan memanen udangnya yang masih berumur dua bulan. Padahal standarnya adalah empat bulan. Tujuannya cuma satu, agar ia tak mengalami kerugian yang lebih besar lagi. “Walaupun tidak bisa balik modal, setidaknya kerugian tak tambah banyak. Masih ada yang bisa diselamatkan,” ujarnya seperti dikutip dari Kabar Tuban, Rabu (16/11/2016).

Selain sifatnya yang cepat menyebar dan berdampak mematikan, white spot menyebabkan kerugian finansial yang besar di kalangan petambak udang. Foto: asc-aqua

Di Santa Catarina, Brazil, beberapa tahun lalu, penyakit white spot mengancam industri udang dan seafood di lokasi tersebut. Produsen udang banyak yang menutup tambaknya. Namun, ada beberapa yang mengambil langkah untuk melakukan diversifikasi produk. Yakni, memproduksi ikan nila pada kolam yang sama. “Keseimbangan ekologi yang dihasilkan pada sistem ini memungkinkan terjadi panen sebelum serangan white spot,” ujar Insinyur Perikanan University of Santa Catarina, Frederico Santos da Costa.

Costa adalah pelopor yang mengembangkan percobaan membudidayakan ikan nila bersama udang. Sistem yang dimulainya pada tahun 2007 ini terbukti layak secara teknis dan finansial. Dari percobaan ini, ia kini memulai produksi komersial ikan nila dan udang. “Dalam dua tahun kami menghasilkan lebih dari 100 ton ikan nila dan lima ton udang,”ujar Ricardo Bruno Scopel, Direktur Teknologi dan Eko Kelautan Brazil.

Pihaknya juga ingin menambah nilai jual ikan nila, sehingga tidak hanya dipasarkan dalam bentuk fillet beku. “Sebenarnya hampir semua bagian ikan nila bisa dimanfaatkan. Termasuk kulitnya, bisa digunakan sebagai bahan untuk membuat dompet, tas, sepatu dan lainnya,” Ricardo menambahkan.

Kuncinya adalah pengembangan dan inovasi. Frederico menekankan agar para pembudidaya tidak berkecil hati dan menganggap enteng ikan nila. Ikan nila adalah komoditas yang bisa diproduksi pada skala kecil,dan dengan teknologi sederhana. “Studi ilmiah menunjukkan bahwa ikan nila yang diproduksi di air payau secara luas dapat diterima sebagai fillet. Tekstur dan rasanya lebih baik. Dan, tentunya sangat dihargai di restoran Jepang,” ujar Frederico.

Dalam polikultur bersama udang, udang yang sekarang atau mati, dpat dimakan oleh nila. Sehingga menghilangkan kemungkinan penularan penyakit akibat white spot. Polikultur ini bisa diterapkan pada tambak tradisional. Bahkan dengan sumber air terbatas, ataupun mengandalkan sumur bor. Tambak tak perlu pintu saluran. Pada lingkungan tambak yang stabil, dengan kondisi salinitas berada di bawah 10 ppt, udang Vaname dan nila dapat berkembang baik. (*)

Hubungi Customer Sales Representative kami di

Indah Sari Windu Medan: Jl. Sutomo No. 560, Medan, Sumatera Utara, 20231, Indonesia Surabaya: Pergudangan Tanrise Westgate Diamond, Blok B-16, Wedi, Gedangan, Sidoarjo 61254, Indonesia Telp: 061 4571 224 - 0812 6065 5496 Up. Teguh Raharjo

1.669 tampilan

Postingan Terakhir

Lihat Semua
bottom of page